Perkembangan Teknologi Sentuh Seni dan Filsafat
PERKEMBANGAN
teknologi semakin pesat dan berbagai bidang kehidupan yang lain seolah dipaksa
untuk ikut lari bersamanya. Tidak hanya filsafat -yang merespons dengan
kemunculan cabang-cabang baru seperti filsafat media, filsafat teknologi,
hingga filsafat internet- produk peradaban lain yang tak kalah purba, yaitu
seni, juga dipaksa memikirkan kemajuan teknologi.
Awalnya mungkin, baik filsafat maupun seni,
tidak terlalu ambil pusing dengan teknologi. Baik filsafat maupun seni, kedua
bidang tersebut dianggap punya indepensinya sendiri. Teknologi memang digunakan
untuk menopang keduanya, tetapi tidak terlalu dipikirkan sebagai sebuah bahan
kajian yang khusus.
Salah satu penanda bidang filsafat maupun seni
sudah mulai memikirkan teknologi adalah ketika seorang pemikir asal Jerman,
Walter Benjamin, menulis artikel berjudul ”Work of Art in The Age of Mechanical
Reproduction” pada tahun 1935. Pada artikel tersebut, Benjamin menyoroti
perkembangan teknologi yang mampu mereproduksi karya seni sedemikian rupa sehingga
karya seni tersebut menjadi kehilangan 'aura'.
Reproduksi karya seni membuat karya seni, yang
tadinya diagungkan karena orisinalitas dan keautentikannya, menjadi menurun
nilainya karena mampu difabrikasi. Dalam konteks hari ini, ”ketakutan” Benjamin
terbukti misalnya dengan kita dapat melihat lukisan karya Van Gogh atau musik
karya Beethoven lewat internet secara gratis.
Meski demikian, pendapat Benjamin tersebut
dapat ditafsirkan dari sudut pandang lain. Misalnya, dengan teknologi
reproduksi tersebut, justru seni menjadi egaliter dan dapat dinikmati oleh
sebanyak mungkin orang dari berbagai kelas. Tidak menjadi monopoli bagi kaum
tertentu yang cenderung elitis.
Terlebih lagi, jika diurut ke belakang,
terutama seni, punya akar kata yang mirip dengan teknologi. Di masa Yunani
Kuno, seni sering disebut juga dengan techne atau disamakan dengan keterampilan
(craftmanship). Teknologi sendiri mengandung kata techne yang artinya juga
melibatkan semacam aspek keterampilan untuk mencapai suatu tujuan yang biasanya
terkait dengan kepentingan-kepentingan manusia.
Persamaan akar kata ini seolah tidak
diungkit-ungkit lagi dalam perkembangannya, terutama ketika peradaban telah
memasuki masa modern. Teknologi seolah-olah menjadi wilayah kajian ilmu
pengetahuan alam yang mensyaratkan objektivitas, akurasi, dan hukum berpikir
yang ketat. Sementara itu, seni menjadi murni persoalan intuisi, subjektivitas,
dan ukuran-ukurannya cenderung relatif berbasiskan pengalaman.
Pembingkaian
Sementara itu, filsafat juga tidak henti-hentinya
memikirkan teknologi. Dalam salah satu karyanya yang berjudul The Question
Concerning Technology (1954), filsuf Jerman, Martin Heidegger, membahas
mengenai esensi dari teknologi. Menurut Heidegger, teknologi, pada dasarnya
melakukan pembingkaian (enframing; gestell) terhadap pandangan kita akan dunia.
Melalui teknologi, kita serta merta melihat
alam sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanipulasi. Heidegger mengakui,
dengan keberadaan teknologi, manusia berhasil menyibak sesuatu dari yang
tadinya gelap menjadi terang.
Namun, harus diakui, ketersibakan ini adalah sekaligus juga
ketertutupan di sisi yang lain. Dalam bukunya tersebut, Heidegger memberi
contoh bagaimana keberadaan pembangkit listrik di Sungai Rhine telah mengubah
fungsi dari sungai tersebut menjadi sebuah energi untuk kehidupan manusia.
Namun, di sisi lain, sungai sebagai sebuah penampakan alam yang utuh, menjadi
tersembunyi di waktu yang sama.
Kenyataan bahwa dunia kontemporer kian
membicarakan teknologi lewat pandangan yang beragam, menunjukan suatu hal
penting: teknologi tidak bisa lagi dipandang sebagai produk sains semata-mata.
Teknologi tidak bisa lagi berdiri sebagai satu entitas yang independen dan
terpisah dari aspek-aspek kehidupan yang lain. Dapat dikatakan dengan gamblang bahwa
teknologi adalah sebuah kajian transdisiplin, yang mengharuskan pencipta maupun
pengguna, memanfaatkannya dalam kerangka acuan - yang dua di antaranya adalah -
filsafat dan seni.
Dalam konteks yang lebih aplikatif, teknologi
tidak bisa semata-mata ditujukan untuk kepentingan praktis manusia saja.
Teknologi harus dipandang dalam suatu perspektif yang lebih holistik. Misalnya,
aspek etik. Apakah kecanggihan gawai hari ini harus disikapi sebagai ”kematian”
bagi proses berpikir yang runut?
Dengan gawai, orang dengan mudah mencari tahu
informasi. Kelemahannya, informasi tersebut kadang tidak mampu diproses melalui
cara berpikir yang benar, sehingga menyebabkan terjadinya hoaks. Lalu, apakah
kecanggihan teknologi, yang membuat siapa pun bisa menjadi ”seniman” - lewat
reproduksi digital ataupun penyuntingan digital - adalah pertanda bahwa profesi
seniman sebagai seorang yang terampil, lambat laun kian menemui akhir?
Teknologi, di sisi lain telah
banyak membantu seni. Itu harus diakui. Sekarang ini bermunculan cabang seni
seperti video art, sound art, hingga musik komputer yang punya relasi kuat
dengan teknologi. Seni digital berkembang pesat dan memiliki pesonanya
tersendiri. Tidak terlalu jemawa jika dikatakan bahwa teknologi sangat
memengaruhi perkembangan seni dari sejak ditemukannya cat, kanvas, kuas, gitar
elektrik, efek digital, media rekam, dan seterusnya.
Atas relasi yang begitu kuat antara teknologi
dan filsafat serta seni, maka sekat-sekat antara ketiganya harus segera
diruntuhkan. Hal itu dapat dimulai dari pelajaran-pelajaran tentang teknologi
yang seyogianya juga ada kaitannya dengan filsafat dan seni, pun sebaliknya.
”2001: A Space Odyssey” (1968)
semoga artikel ini bermanfaat untuk kalian semua,have a nice day all:)
created by:andika suryo
sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2018/02/06/perkembangan-teknologi-sentuh-seni-dan-filsafat-418949
1 komentar
Teknologi dapat dianalogikan dua mata koin, baik dan buruk. Hasil akhir nya menurut saya bukan pada hasil/pencapaian, tapi kegunaannya. Maka tak heran einstein memberikan pernyataan dua sisi tentang ilmu/teknologi..
BalasHapusPersoalannya dimakah peran dan fungsi kita ?